Kamis, 08 Januari 2009

Wacana dan Agenda Reformasi Muhammadiyah

Asep Purnama Bahtiar & Nurwanto

AGAKNYA keunggulan, kelebihan, dan kelemahan Muhammadiyah seperti yang telah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan, tetap mengharuskan organisasi ini agar berhati-hati tentang kemungkinan lepas kontrol dengan menganggap dirinya sebagai kekuatan penyelamat. Artinya, Muhammadiyah harus selalu memelihara kritisisme, egalitarianisme dan demokratisasi intern dan ekstern secara intensif.
Umat perlu selalu diajak berdialog dan bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai persoalan, baik keagamaan, politik, ekonomi dan sosial-budayanya. Komunikasi antar-ruang, baik masyarakat dan negara maupun Muhammadiyah dan negara, jangan dijadikan alasan untuk membangun kultur berbeda-ruang antara Muhammadiyah dan masyarakat, karena hal ini akan menciptakan disfungsi baru dan gejala hegemoni wacana keagamaan serta melahirkan tirani sosial pasca-kekuasaan negara.

Muhammadiyah dalam Wacana
Pustaka dan tulisan mengenai Muhammadiyah, baik dari lingkungan sendiri maupun luar Muhammadiyah, dalam negeri maupun luar negeri, sudah banyak diterbitkan dan dipublikasikan. Tulisan-tulisan tersebut bukan saja memberikan informasi sejarah sosial Muhammadiyah yang berharga, tetapi sekaligus juga menjadi wacana kritis dalam rangka merekonstruksi gerakan ini di masa-masa berikutnya. Hal ini belum lagi dengan kajian dan seminar yang kerap diadakan dalam berbagai kesempatan, terutama secara intern di lingkungan Muhammadiyah dan kalangan kaum mudanya.
Tradisi kritik-konstruktif terhadap Muhammadiyah hingga kini ternyata terus berlanjut. Skripsi, tesis, disertasi dan tulisan-tulisan lainnya —belum termasuk diskusi serta pembicaraan resmi dan tidak resmi— yang muncul semakin menampakkan format betapa pentingnya kehadiran kekuatan sosial yang independen, reformis, berpihak dan lepas dari kontrol ketat kekuasaan. Dalam Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi (1997) Saefullah telah mendeskripsikan bahwa Muhammadiyah pun tidak lepas dari debat dan bahkan kadang intrik politik. Hanya saja —meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif— , konflik dan intrik di Muhammadiyah tidak sampai melahirkan konflik berdarah, sebagaimana sejarah kelam pertentangan politik ideologis masa khilafah dan pasca-Shiffin.
Menurut Saefullah, yang mencoba mencermati gaya politik Muhammadiyah era Masyumi, Muhammadiyah mencerminkan tiga cara pandang politik pemimpin dan warganya, yakni ada yang bercorak revivalisme, modernisme dan sekularisme. Tesis ini penting dilihat, karena pada kenyataannya Muhammadiyah di belakang hari menyatakan dirinya sebagai organisasi non-politis dan tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu mana pun. Sikap ini adalah hasil muktamar ke-38 Muhammadiyah di Ujungpandang (1971) dan sampai sekarang pasca-Muktamar ke-44 di Jakarta (2000) masih tetap dipegang.
Sikap politik itulah yang sering didengungkan sebagai Khittah Muhammadiyah, dan karenanya organisasi ini bersepakat sebagai organisasi sosial keagamaan non-politis, namun memberikan hak yang luas kepada warganya untuk masuk dan aktif di partai politik mana pun. Sebagai contoh kasus mutakhir adalah tidak adanya hubungan organisatoris antara Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional (PAN), kendati pucuk pimpinan partai reformis ini adalah Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah. Apakah Khittah ini dapat dijalani selamanya, sementara dinamika dan fluktuasi politik di negeri ini menunjukkan arah yang zig-zag dan penuh teka-teki? Mungkin, sejarah jua yang akan membuktikannya.
Buku Alwi Shihab Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (1998) memberikan informasi tentang Muhammadiyah sebagai kontrol sekaligus pembendung penetrasi misi Kristenisasi di Indonesia melalui program amal usahanya. Muhammadiyah merupakan kekuatan sosial-keagamaan yang progresif, tetapi dapat saja menjadi reaksioner di belakang hari. Pertanyaannya, apakah benar formula membangun benteng anti-zending dan misi ini dalam rangka menolak pluralitas? Jika benar, bisa saja muncul anggapan sebagai benih a-demokrasi kekuatan Muhammadiyah. Tetapi kalau tidak, maka proses yang kadang melahirkan ketegangan ini merupakan proses awal dialog menuju hubungan kemanusiaan yang lebih harmonis dan toleran agar tidak memaksakan ajaran agama kepada umat lain.
Boleh jadi apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah merupakan rintisan perubahan gerakan dari politik keagamaan konfrontatif dengan paradigma penaklukan (paradigm of conquest) menuju pada paradigma kebersamaan dan penghargaan terhadap pluralitas. Pertentangan atau ketegangan apapun yang terjadi dalam realitas kemajemukan, sewajarnya tidak disulut sebagai pensahihan apalagi fatwa untuk dilakukannya permusuhan dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan. Pertentangan yang berkekuatan agama seperti sekarang ini misalnya, perlu dicarikan strategi non-politis, tetapi berwajah kultural dan perdamaian ajaran agama. Muhammadiyah perlu melontarkan argumentasi tentang legitimasi substansi ajaran melalui dialog kritis.
Kemudian buku Abdul Munir Mulkhan Islam Murni (2000) merupakan gelombang baru apa yang seharusnya perlu dilakukan Muhammadiyah dengan langgam reformasi, purifikasi atau pemurniannya itu. Munir Mulkhan menganalisis dari sampel yang ditelitinya —kendati bersifat kasuistik— kecenderungan-kecenderungan gerakan purifikasi keagamaan Muhammadiyah yang terkesan kadang asal-asalan dan membabi-buta.
Dalam temuan Munir, warga Muhammadiyah tetap merepresentasikan keragaman beribadah hingga kecenderungan-kecenderungan politiknya. Istilah adanya Muhammadiyah-NU (Munu), Muhammadiyah-Marhaenis/Nasionalis (Marmud atau Munas), Muhammadiyah-Asli dan Muhammadiyah Kiai Dahlan, adalah bentuk atau formasi warga Muhammadiyah yang riil di lapangan (daerah Wuluhan, Jember). Konstruksi sosial dan kebudayaan ini perlu diapresiasi dan dianalisis secara layak untuk kepentingan strategi dakwah dan kebudayaan Muhammadiyah, bukan dijadikan sekedar sebagai data dan pengklaiman yang mesti dimurnikan tanpa menelusuri akar dan strategi dakwah lanjut yang lebih visioner, berbudaya, dan demokratis.
Memang, pasca-Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh (1995), Muhammadiyah mulai mempertimbangan kembali secara seksama segi-segi kebudayaan yang mesti mendapat tempat yang serius melalui program spiritualisasi syari’ah dan berimplikasi pada perombakan Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Dua sumber pemikiran yang dianggap kurang akrab atau terlupakan di Muhammadiyah, yakni filsafat dan tasawuf, kembali mulai mendapat tempat pembelajaran. Secara dialektis, hal ini memunculkan langgam paham keagamaan antara golongan tua dan muda atau fiqhiisme dan sufisme. Karena hal tersebut bukan sekedar sebagai wacana tetapi sekaligus pengamalan keagamaan, maka tidak ada jalan lain kecuali belajar berdialog dan saling menghargai dengan langgam reformasinya.
Agenda Reformasi
Berpijak pada wacana di atas tadi, maka kalkulasi gerakan sosial-keagamaan ke depan, tidak mungkin hanya berkubang pada respons agenda-agenda dan kebijakan politik-kekuasaan, tanpa membangun tradisi pemberdayaan dan pencerahan dari bawah yang mencerminkan etos keberpihakan pada masyarakat. Mata rantai gerakan sosial-keagamaan akan memilih bentuk-bentuk akomodasi (dalam tanda petik) terhadap pemerintah dengan terus melahirkan gerakan cerdas dan kritis atau melontarkan gagasan pemberdayaan mandiri non-pemerintah. Segi ini tentunya bukan pilihan yang dilematis atau menjadi simalakama, tetapi dapat saling menguatkan.
Sebagaimana tinjauan dualistik di atas sebenarnya dapat dijadikan sebagai strategi sintetik memasuki gelombang masyarakat industrial dewasa ini. Kebutuhan strategi sintetik langgam keagamaan Muhammadiyah yang syari’ahisme-spiritualistik (spiritualisasi syari’ah) ini dapat menjadi bantahan baru terhadap dugaan bahwa gerakan modernisme Islam itu tidak dapat mengakomodir segi-segi yang sifatnya tradisionalis-esoteris. Bagi kepentingan Muhammadiyah, maka hal ini merupakan lahan pembaharuan baru yang setelah sekian lama —meminjam istilah Munir Mulkhan— berada dalam kemati-surian.
Kawasan tersebut, di era transisi menuju penguatan civil society, tidak diperlukan lagi pilihan mutlak yang rigid: menolak atau menerima segala bentuk akomodasi. Tuduhan status-quo dan reformis dalam makna pembangunan kekuatan masyarakat tidak bisa didikte secara hitam-putih bagi kepentingan politik sempit. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah, sejauh mana beban sosial-budaya umat semakin terkurangi dan kinerja Muhammadiyah dapat memberdayakan masyarakat bagi usaha demokratisasi dan pencerahan di tengah krisis sosial-politik-ekonomi dewasa ini.
Pertanyaannya kemudian, adakah korelasi antara segi keberpihakan dan keterlibatan pembebasan sosial-budaya dengan jarak terhadap suatu kekuatan politik? Jika hal tersebut signifikan, maka Muhammadiyah semestinya memprioritaskan poin keterlibatan pemberdayaan sosial, politik, budaya, dan ekonomi masyarakat daripada mengikuti alur logika kepentingan politik yang sering menghadirkan pola-pola merugikan pemberdayaan publik. Tanpa mengurangi betapa pentingnya faktor kepentingan politik, Muhammadiyah mesti menghindari jebakan-jebakan dakwah keumatan yang cenderung politis, atau lebih-lebih menciptakan jebakan-jebakan baru buat dirinya. Sikap ini bukan a-politis, tetapi jangan menjadikan kecenderungan-kecenderungan politik itu segala-galanya.
Rumusan gerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah semestinya, hemat kami, tetap berpijak pada langgam reformasi dan etos keberpihakan yang mampu merespons problem sosial budaya dan dinamika sejarah umat manusia. Gagasan ini sesungguhnya merupakan bentuk reafirmasi dan retradisi kritisisme KH Ahmad Dahlan dalam wacana keagamaan dan transformasi sosial-budaya-kemanusiaan. Terminologi Tauhid Sosial (Amien Rais), Faith in Action serta Integrasi Dimensi Normativitas Wahyu dan Historisitas Manusia (Amin Abdullah), Dialog Kritis antara Teks dan Konteks (hermeneutika), dan sebagainya adalah bagian dari agenda reformasi yang dimaksud untuk meneguhkan langgam tajdid, etos keilmuan, dan keberpihakan Muhammadiyah. Nashrun minallahi wafathun qarib.
________________________________________
Asep Purnama Bahtiar & Nur Wanto, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar