Rabu, 18 Februari 2009

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah (2)

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah (2)

Dalam telaahan Nurcholish Madjid, Kiai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran hakiki, yang mampu menangkap pesan Al-Qur’an dan mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan zaman. Menurut tokoh Paramadina ini, Kiai Dahlan melakukan pembaruan yang bersifat “break throught”, bahwa pembaruannya tidak mengalami prakondisi sebelumnya dan bersifat lompatan.

Pembaruan yang dilakukan Kiai Dahlan dan melahirkan Muhammadiyah kendati sering dikaitkan dengan gerakan pembaruan Islam sebelumnya di dunia Islam sebagaimana dipelopori Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain; secara tipikal memiliki kekhususan tertentu. Selain lebih dekat pada pembaruan atau pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir ketimbang dengan tokoh pembaru lainnya, pemikiran atau pembaruan Ahmad Dahlan memiliki ciri khas terutama dalam gerakan mendirikan organisasi perempuan (‘Aisyiyah tahun 1917) dan gerakan amal usahanya yang melembaga sebagai aktualisasi dari spirit Al-Ma‘un. Format pembaruan Islam itu kendati sering disederhanakan oleh sebagian kalangan sebagai pembaruan ad-hoc, tetapi bercorak transformasional dan menjadi khas pembaruan Kiai Dahlan.

Kiai Dahlan bukan hanya memelopori nalar kritis dalam gerakan pembaruan Islam melalui berbagai langkah terobosannya, tetapi juga kesediaan untuk selalu membuka pikiran yang datang dari luar sekaligus membuka dialog dengan siapa pun yang dipandang berbeda dengan pemikirannya. Pendiri Muhammadiyah itu selain gemar berdiskusi dengan elit dari Boedi Oetomo dan Syarikat Islam yang dirinya terlibat di dalamnya, juga dengan pihak lain yang dianggap berbeda seperti dengan Semaun dan kalangan pendeta. Dalam catatan Jainuri, Kiai Dahlan bahkan pernah menganjurkan agar kajian tentang agama Kristen diadakan di lingkungan masjid-masjid kaum muslimin. Dalam rekam pikiran yang ditulis Kiai Hadjid (edisi baru 2005: 20-21), bahwa Kiai Dahlan pernah menyatakan sebagai berikut:
“Orang yang mencari barang yang hak kebenaran itu perumpamaannya demikian: ‘Seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kitab Suci Al-Qur’an dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel (Perjanjian Lama dan Baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apa pun. Seterusnya bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi, sebagian besar dari manusia hanya menurut anggapannya saja, diputuskannya sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya’”.


Kiai Dahlan sebagaimana dituturkan Kiai Hadjid (lo.cit) dalam pengembangan pemikiran kritisnya itu merujuk pada Al-Qur’an surat Luqman (ayat ke-21) tentang sikap taklid mengikuti jejak orang-orang terdahulu, surat Az-Zumar (ayat ke-17 dan ke-18) tentang sikap kritis ulul-albab, dan pernyataan Muhammad Abduh yang menyatakan: “Kebanyakan manusia, mula-mula sudah mempunyai pendirian, setelah itu baru mencari dalil dan tidak mau mencari dalil selain yang sudah cocok dengan keyakinannya dan jarang sekali mereka mencari dalil untuk dipakai dan diyakinkan”, serta pernyataan “manusia itu benci kepada yang tidak diketahuinya”.


Dari langkah dan pemikiran pembaruan Kiai Ahmad Dahlan itulah kemudian Muhammadiyah mengembangkan tradisi intelektual, selain tradisi amaliahnya, yang monumental dan menjadi tonggak bagi generasi dan perkembangan Muhammadiyah di belakang hari. Pemikiran Kiai Dahlan yang melintasi itu di kemudian hari memperoleh persambungan dengan pemikiran Kiai Mas Mansur, yang juga memiliki tradisi intelektual Islam yang menonjol dibanding penerus Kiai Dahlan yang lainnya. Mas Mansur termasuk tokoh puncak Muhammadiyah yang meninggalkan karya tulis, pemikirannya luas dan ada sinyal-sinyal ke arah kemandirian dari arus pembaru Islam di dunia Islam serta mampu membaca dengan tajam kejatuhan Islam di masa lampau dalam suasana perkelahian madzhab Mas Mansur sebenarnya potensial sebagai sosok “menara gading” manakala tidak dipaksa oleh keadaan masa itu yang mengharuskannya bergumul dengan realitas yang kompleks dan kemudian menjadi rutin, baik di tubuh Muhammadiyah maupun umat Islam yang tengah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia kala itu (Maarif, dalam Amir Hamzah, 1992: xiv-xvi).

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah mengalami proses pelembagaan melalui majelis dan institusi tarjih yang dibentuk sejak tahun 1927 atas prakarsa Mas Mansur. Dengan prinsip mencari dalil yang paling kuat, sebenarnya tarjih potensial sebagai institusi yang memberi ruang leluasa untuk diskursus tentang permasalahan dan pemikiran-pemikiran Islam dalam berbagai aspeknya, yang di dalamnya berbagai pandangan yang kontra sekalipun dapat dibahas dan dicarikan jalan keluarnya. Pembahasan Masalah Lima (al-Masail al-Khams) tahun 1938 yang digagas Mas Mansur tentang hakikat agama, dunia, ibadah, sabilullah, dan qiyas/ijtihad; merupakan contoh dari institusi tarjih yang penting dalam membuka wacana atas masalah-masalah atau pemikiran-pemikiran Islam yang fundamental. Pembahasan tersebut kemudian dibawa ke Muktamar Khususi dan hasilnya dikodifikasi atau diputuskan pada tahun 1954/1955 sebagaimana rumusannya terdapat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih saat ini.

Namun, pemikiran-pemikiran mendasar tentang Islam kurang dikembangkan dan dielaborasi pada babak perkembangan tarjih berikutnya, sehingga di belakang hari warga Muhammadiyah kehilangan perspektif yang luas tentang Islam dalam berbagai aspeknya. Tahun 1969 sebenarnya Muhammadiyah juga menghasilkan konsep penting yakni Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah sebagai pandangan ideologis yang mendasar, tetapi pada fase berikutnya tidak disertai dengan pandangan filosofis tentang pandangan Islam dalam perspektif Muhammadiyah. Konsep al-Din al-Islamy yang sempat dibahas pada periode K.H. AR. Fakhruddin sebenarnya merupakan langkah yang tepat, tetapi tidak berkelanjutan dan seolah menjadi konsep yang “mauquf”, bahkan naskahnya hingga saat ini belum diketahui secara jelas. Setelah Muktamar tahun 1985 di Surakarta terjadi situasi baru ketika Muhammadiyah memperoleh banyak kritik tajam dan luas sebagai mengalami stagnasi dalam kerutinan dan aktivisme, maka sejak itulah kemudian bermunculan banyak gagasan dan pemikiran kritis dari para cendekiawan muslim Muhammadiyah.

Pada perkembangan Muhammadiyah berikutnya terjadi suasana baru ketika Muhammadiyah di bawah kepemimpinan M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, dua sosok cendekiawan muslim yang menurut sementara kalangan merupakan genre baru dalam kepemimpinan Muhammadiyah setelah selama ini dipimpin oleh para “Kiai” lulusan pondok pesantren, kendati sebenarnya kedua tokoh baru tersebut juga menempuh jalur pesantren. Pada masa K.H. Ahmad Azhar Basyir sebenarnya diharapkan terjadi proses transisi dari kecenderungan kepemimpinan “praksisme” dalam Muhammadiyah ke kepemimpinan “intelektual”, namun tokoh lulusan Al-Azhar yang juga dikenal ahli fiqih dan filsafat ini tidak lama memimpin Muhammadiyah karena wafat di pertengahan masa kepemimpinannya. Pada era sejak 1995 itulah iklim dan tradisi intelektual dirajut ulang dan memperoleh momentum baru dalam perkembangan Islam kontemporer dengan segala macam pemikiran dan dinamikanya yang beragam.

Namun pada era itu pula terjadi situasi baru berupa perkembangan politik nasional pasca kejatuhan rezim Orde Baru dan lahirnya reformasi 1998, yang membuat proses intelektual dan kultural baru itu seolah mandeg atau tersubversi oleh tarikan politik nasional yang niscaya. Dengan perkembangan makin kuatnya tarikan ideologi politik Islam yang dibawa gerakan Islamisme pada era penuh pergumulan nasional yang hiruk-pikuk itu, kebangkitan intelektualisme Islam itu harus berhadapan dengan realitas baru berupa aktivisme Islam yang berorientasi pada cita-cita politik Islam di tengah kuatnya kecenderungan pada puritanisme yang tengah bangkit penuh gairah dan melahirkan sikap penuh kecemasan terhadap laju intelektual Islam baik di tubuh Muhammadiyah maupun lebih luas lagi dalam kehidupan umat Islam di negeri ini.

Dalam konteks tertentu kecemasan terhadap laju intelektualisme Islam itu tumbuh akibat bias dan pengaruh sekularisme dan liberalisme Barat yang angkuh dan telah menyebarkan krisis kemanusiaan dalam kehidupan umat manusia di abad modern ini. Namun sikap penuh kecemasan itu sebaiknya tidak lantas semakin menjurus ke gerak pendulum lain yang sama ekstrimnya, yakni melahirkan gerakan anti-intelektual Islam dan lahirnya teosentrisme dan Islamisme yang serba monolitik, yang pada gilirannya justru menghambat laju peradaban Islam yang tengah bangkit. Jika hal itu terjadi, maka gerakan Islam mana pun akan semakin menjauh dari pesan Islam sebagai agama pembawa rahmatan lil-‘alamin di tengah lalulintas peradaban yang serba ekstrem saat ini.


Dalam konteks Muhammadiyah baik dalam membangkitkan tradisi intelektual maupun untuk mengukir kemajuan dan peran pembaruan gerakan Islam ini di tengah lalu lintas gerakan dan peradaban yang majemuk saat ini, seyogianya berbagai masalah yang selama menjadi isu dan perdebatan diwacanakan secara cerdas dan dalam suasana jernih serta konstruktif. Daripada terjebak pada konstruksi monolitik dan menjadi pemicu perseteruan yang tidak produktif dalam stigma yang memvonis; lebih baik diwacanakan tentang persoalan sekitar isu plularisme, sekularisme, dan liberalisme secara mendalam dan dalam kerangka keilmuan yang melintasi. Pembahasan masalah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pandangan yang interdispliner dan dalam suasana keilmuan yang penuh keterbukaan dan rendah hati, bukan dalam debat kusir dan melibatkan massa yang justru menambah suasana tidak kondusif untuk berdialog dan berwacana.

Demikian pula dapat diwacanakan isu-isu mendasar tentang “Islam kaffah”, “Islam murni”, dan apa yang termasuk dalam kategori “yang tetap” dan “yang berubah” dalam ajaran Islam, sehingga tidak melahirkan klaim yang satu merasa lebih Islami daripada lainnya di tubuh umat Islam maupun Muhammadiyah. Dalam wacana yang dianjurkan Islam itu, Majelis Tarjih dan Tajdid dan berbagai institusi lain dalam Muhammadiyah dapat memprakarsai forum yang penting itu, dengan tetap berada dalam diskursus ilmiah yang cerdas dan santun sebagaimana tradisi Muhammadiyah selama ini. Akan lebih produktif manakala pembahasan masalah-masalah tersebut dirancang dalam satu paket menuju pembahasan dan perumusan tentang Risalah Islam yang komprehensif sehingga menjadi produk pemikiran Muhammadiyah yang cemerlang. Nasrun min Allah wa fathun qarib.l

By DR. H. Haedar Nashir, M.Si
Rabu, 18 Februari 2009 pukul 15:13:00
http://www.republika.co.id/berita/32250/Tradisi_intelektual_dalam_Muhammadiyah_2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar