Rabu, 18 Februari 2009

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah (1)

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah (1)

Islam sebagai ajaran dan sejarah peradaban sungguh kaya dengan etos atau tradisi intelektual. Islam bahkan dapat dikatakan sebagai agama kemajuan (din al-hadarah), yang mampu mengubah daerah Yastrib yang pedesaan menjadi kota peradaban (Madinah al-Munawwarah).

Ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan dan merupakan titik awal kerisalahan Nabi Muhammad justru tentang “iqra”, yang mengandung pesan sekaligus perintah imperatif kegiatan intelektual. Islam memerintahkan atau mengajak orang beriman untuk berpikir dan mencari ilmu, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mengangkat kaum berilmu ke derajat tertinggi. Kegiatan berpikir (iqra, tafakur, dan sejenisnya) bukan hanya diperintahkan Tuhan baik dalam logika naratif (kisah) dan retorik (nadhar) maupun imperatif (iqra‘). Bahkan, dengan tegas Allah menyatakan bahwa mereka yang tidak mau menggunakan akal pikirannya laksana binatang melata (dawâb) di muka bumi ini (Q.s. Al-Anfal [8]: 22).

Islam dengan tradisi pemikiran dan moralitas profetik yang dibawa Nabi akhir zaman, berhasil meletakkan peradaban yang modern jauh melampaui zamannya. Karena itu, Islam hadir menjadi agama yang mencerahkan kehidupan. Agama yang melakukan lintas gerak peradaban “lituhrijâ al-nâs min al-dhulumât ila al-nûr”, yang membebaskan manusia dari “kegelapan” (kejahiliyahan) kepada “cahaya” (kebenaran, al-Islam). Karena tradisi pencerahan (tanwir) itulah, maka Islam berhasil menjadi kekuatan dunia di kala Barat kala itu tengah tertidur lelap dalam kegelapan peradaban.

Dengan kekuatan Islam yang dinamis itulah maka agama ini menyebar dengan pesat mula-mula dari jazirah Arabia kemudian ke seluruh penjuru dunia. Islam kemudian menjadi agama yang menyejarah, yang benar-benar hadir menyebarkan rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Selama empat abad lebih Islam hadir menjadi kekuatan sejarah dan peradaban baru di panggung dunia. Di era itulah lahir banyak perubahan yang spektakuler dari rahim Islam. Kemajuan di bidang pemikiran filsafat (kalam), ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga ke format budaya baru yang berbasis akhlak dan kemoderenan terukir dengan indah dan nyata. Karya-karya dan nama besar Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Farabi, Al-Hawarizmi, Al-Kindi, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyyah, empat imam madzhab, dan pemikir-pemikir besar Islam lainnya menghiasi perkembangan peradaban yang spektakuler itu. Pada kala itu barat tengah tertidur lelap dalam buaian teosentrisme dan alam pikiran yang jumud dan gelap gulita di bawah hegemoni agama abad tengah yang monilitik. Kala itu Barat menjadi masyarakat yang masih terbelakang, yang lorong-lorong jalannya di sejumlah kota Eropa yang kini terkenal masih diterangi lampu teplok.

Era kejayaan Islam yang agung itu dikatakan oleh Kraemer sebagai the renaissance of Islam, yakni masa pencerahan Islam. Para ahli lain menyebutnya sebagai the golden age atau abad keemasan Islam. Pada era itu, lahir kebangkitan intelektual dan kultural Islam yang spektakuler. Terjadi revolusi pemikiran dan budaya Islam yang bercorak peradaban baru (the new civilization). Islam telah menjadi peradaban baru, bukan saja menyambung mata rantai peradaban sebelumnya seperti tradisi intelektual Yunani, Babylon/Kaldea, dan Persia tetapi, juga menampilkan corak baru yang khas Islam. Kala itu, Islam sungguh-sungguh hadir menjadi agama sekaligus peradaban profetik yang kosmopolit, humanistik, kultural, dan saintifik yang memperoleh puncaknya pada era ‘Abasiyyah itu hingga Islam.

Setelah era keemasan itu redup dengan kejatuhan Islam di Baghdad tahun 1928 M; kendati sempat bangkit lagi pada masa dinasti Utsmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India; kemudian Islam mengalami kemunduran, bahkan kejatuhan. Ketika peradaban Islam surut, sejak itu, kebudayaan Barat terbit dari wilayah Eropa kemudian Amerika, yang melahirkan peradaban modern hingga kini. Sejarah juga mencatat, bahwa kelahiran peradaban modern Barat ini pun dimulai dari proses pencerahan (rennaisance, aufklarûng), yang kemudian melahirkan modernisme. Sejak itu, Barat lalu tampil dengan dominasi kemajuan yang spektakuler dalam pemikiran, ilmu pengetahuan, dan teknologi, di samping ekspansi politik dan penjajahan ke hampir seluruh penjuru dunia termasuk dunia Islam. Sedangkan dunia Islam yang dulu jaya dan ikut memberi inspirasi bagi pencerahan Barat berada dalam kondisi yang marjinal dan sebagian bahkan, terhegemoni dalam cengkeraman politik Barat itu.

Sejak kehadiran abad ke-15 hijriyah beberapa dasa warsa yang lalu, umat Islam bertekad untuk bangkit kembali. Spirit kebangkitan Islam bahkan, telah menyebar ke seluruh negeri muslim. Namun, gelora kebangkitan yang sempat menyebar terutama pasca revolusi Iran tahun 1979 itu, kini seolah redup kembali, dan yang menguat seolah gelora Islamisme di ranah perjuangan ideologi politik minus kerja-kerja strategis yang bersifat pencerahan. Gairah intelektualisme Islam yang sempat memancar seolah redup dan dikalahkan oleh hiruk-pikuk perjuangan politik kekuasaan. Sementara, karena trauma dan kemarahan terhadap Barat yang menyebarkan antropiosentrisme dan humanisme-sekuler yang melahirkan krisis, sebagian umat Islam bahkan, lari ke pendulum lain dengan menawarkan spiritualisme dan puritanisme Islam napas pendek. Dalam situasi yang penuh dilema seperti itu etos dan khazanah intelektualisme Islam menjadi terlantar atau mengalami marjinalisasi dalam perkembangan dunia Islam.

Karena itu jika, ingin mengukir kejayaan Islam kembali, salah satu pilarnya ialah membangkitkan kembali etos dan tradisi kejayaan pemikiran disertai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul. Tentu saja basisnya ialah dasar iman dan moral yang kokoh, yang bersumber pada tauhid sebagai bingkai fundamental dari rancang-bangun peradaban Islam. Di sinilah pentingnya membangkitkan kembali etos dan generasi ulul albab di kalangan kaum muslimin, yakni suatu genre kaum Muslimin yang memiliki ciri-ciri manusia yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan mendalam ilmunya (QS Ali Imran/3: 7); berfikir sekaligus berdzikir (QS Ali Imran/3: 190-191), mengembangkan nalar kritis (Q.s. Az-Zumar [39]: 18), memisahkan al-haq dengan al-bathil atau kebenaran dari kebathilan (Q.s. Al-Maidah [5]: 100), menyampaikan ilmu dan mengembangkan hubungan kemanusiaan yang baik dengan sesama (Q.s. Ar-Ra’du [13]: 22), bertakwa kepada Allah dengan iman dan ilmunya (Q.s. Al-Baqarah [2]: 197), dan lain-lain sebagaimana sosok ulul albab.
Generasi ulul albab adalah sosok cendekiawan atau intelektual muslim yang di dalam dirinya terintegrasi kekuatan iman, ilmu, dan amal yang bersifat profetik sekaligus transformasional untuk tampil sebagai pembawa misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di zaman modern abad ke-21 ini.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Muhammadiyah yang menegaskan dirinya sebagai gerakan Islam, yang mengemban misi utama dakwah dan tajdid, dan kehadirannya di negeri ini untuk sebuah cita-cita besar yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; secara niscaya memiliki kewajiban untuk berada di garda depan dalam meretas kebangkitan Islam yang penuh tantangan itu. Karena salah satu pilar penting bagi kebangkitan Islam itu ialah intelektualisme Islam, maka Muhammadiyah pun memiliki tanggung jawab penting bagaimana berada di barisan depan dalam mengusung gerakan intelektual atau gerakan keilmuan dalam membangun masa depan Islam dan umat Islam saat ini. Muhammadiyah dengan predikatnya sebagai gerakan tajdid, bahkan boleh dikatakan memiliki kewajiban paling utama untuk menjadi pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual di tubuh umat Islam, termasuk di dalam dirinya sendiri.

Muhammadiyah untuk membangkitkan kembali tradisi intelektual sungguh memiliki legitimasi sejarah yang sah. Bukankah Muhammadiyah dalam konteks sejarahnya dikenal kuat sebagai gerakan tajdid, yang membawa organisasi yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 tersebut sebagai representasi dari reformisme atau modernisme Islam awal abad ke-20 di Indonesia? Di mata masyarakat awam Muhammadiyah telanjur melekat dengan predikat gerakan Islam modern yang mendobrak tradisionalisme Islam. Dengan gagasan dan pemikiran-pemikiran baru yang diperkenalkan oleh pendirinya dari Kauman itu, Muhammadiyah di mata sebagian kalangan Islam bahkan dianggap sebagai penyebar “agama baru” di negeri tercinta ini. Muhammadiyah secara niscaya terikat secara teologis dan historis dengan etos dan tradisi intelektual Islam sebagai pilar penting bagi bangunan peradaban Islam. Sejarah Muhammadiyah pun secara sosiologis sesungguhnya kaya dan memiliki tonggak dengan tradisi intelektual Islam itu, meski tidak dalam bangunan yang tersistematisasi canggih sebagaimana pemikiran-pemikiran Islam kontemporer yang saat ini berkembang di dunia Islam.

Tradisi intelektual merupakan alam pikiran dan kegiatan berpikir kritis dalam mewacanakan dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendasar yang tumbuh dan terbentuk dalam dinamika sosiologis kehidupan umat Islam, termasuk dalam Muhammadiyah. Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah dimulai oleh pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Kendati oleh sebagian ahli Kiai Dahlan lebih dikenal sebagai pembaru dengan karakter “man of action” karena tekanannya pada amaliah Islam, namun jauh di lubuk jiwa dan pikirannya pendiri Muhammadiyah ini menggelorakan spirit intelektualisme Islam sebagaimana pada umumnya pembaru. Muhammadiyah menjadi gerakan reformisme/modernisme Islam justru karena dilahirkan dari gagasan dan pemikiran Kiai Dahlan, yang di dalam dirinya bergelora spirit dan api pembaruan.l

Dalam telaahan Nurcholish Madjid, Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran hakiki, yang mampu menangkap pesan Al-Quran dan mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan zaman. Menurut tokoh Paramadina ini, Kyai Dahlan melakukan pembaruan yang bersifat “break throught”, bahwa pembaruannya tidak mengalami prakondisi sebelumnya dan bersifat lompatan. Mengenai orientasinya pada amaliah maka dapat dicari legitimasi bahwa Islam tidak ada aktualisasi lain kecuali pada amal, dan dengan pembaruan yang bercorak amaliah itu menurut Nurcholish maka pembaruan Dahlan telah menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbedar bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia Islam. Sementara bagi Alfian, dengan pembaruan yang dipelopori oleh Kyai Dahlan, maka Muhammadiyah kemudian mengukir jejak sejarah sebagai kekuatan reformis dalam pembaruan keagamaan, menjadi agen perubahan sosial, dan kekuatan sosial-politik di Indonesia.

Pembaruan yang dilakukan Kyai Dahlan dan melahirkan Muhammadiyah kendati sering dikaitkan dengan gerakan pembaruan Islam sebelumnya di dunia Islam sebagaimana dipelopori Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain; secara tipikal memiliki kekhususan tertentu. Selain lebih dekat pada pembaruan atau pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir ketimbang dengan tokoh pembaru lainnya, pemikiran atau pembaruan Ahmad Dahlan memiliki ciri khas terutama dalam gerakan mendirikan organisasi perempuan (‘Aisyiyah tahun 1917) dan gerakan amal usahanya yang melembaga sebagai aktualisasi dari spirit Al-Ma‘un. Format pembaruan Islam itu kendati sering disederhanakan oleh sebagian kalangan sebagai pembaruan ad-hoc, tetapi bercorak transformasional dan menjadi khas pembaruan Kyai Dahlan.

Kyai Dahlan bukan hanya memelopori nalar kritis dalam gerakan pembaruan Islam melalui berbagai langkah terobosannya, tetapi juga kesediaan untuk selalu membuka pikiran yang datang dari luar sekaligus membuka dialog dengan siapapun yang dipandang berbeda dengan pemikirannya. Pendiri Muhammadiyah itu selain gemar berdiskusi dengan elite dari Boedi Oetomo dan Syarikat Islam yang dirinya terlibat di dalamnya, juga dengan pihak lain yang dianggap berbeda seperti dengan Semaun dan kalangan pendeta. Dalam catatan Jainuri, Kyai Dahlan bahkan pernah menganjurkan agar kajian tentang agama Kristen diadakan di lingkungan masjid-masjid kaum muslimin. Dalam rekam pikiran yang ditulis Kyai Hadjid (edisi baru 2005: 20-21), bahwa Kyai Dahlan pernah menyatakan sebagai berikut:

“Orang yang mencari barang yang hak kebenaran itu perumpamaannya demikian: “Seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kitab Suci Al-Qur’an dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel (Perjanjian Lama dan Baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi sebagian besar dari manusia hanya menurut anggapannya saja, diputuskannya sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya.”

Kyai Dahlan sebagaimana dituturkan Kyai Hadjid (lo.cit) dalam pengembangan pemikiran kritisnya itu merujuk pada Al-Quran Surat Luqman (ayat ke-21) tentang sikap taklid mengikuti jejak orang-orang terdahulu, Surat Az-Zumar (ayat ke-17 dan ke-18) tentang sikap kritis ulul-albab, dan pernyataan Muhammad Abduh yang menyatakan: “Kebanyakan manusia, mula-mula sudah mempunyai pendirian, setelah itu baru mencari dalil dan tidak mau mencari dalil selain yang sudah cocok dengan keyakinannya dan jarang sekali mereka mencari dalil untuk dipakai dan diyakinkan”, serta pernyataan “manusia itu benci kepada yang tidak diketahuinya”.

Dari langkah dan pemikiran pembaruan Kyai Ahmad Dahlan itulah kemudian Muhammadiyah mengembangkan tradisi intelektual, selain tradisi amaliahnya, yang monumental dan menjadi tonggak bagi generasi dan perkembangan Muhammadiyah di belakang hari. Pemikiran Kyai Dahlan yang melintasi itu di kemudian hari memperoleh persambungan dengan pemikiran Kyai Mas Mansur, yang juga memiliki tradisi intelektual Islam yang menonjol dibanding penerus Kyai Dahlan yang lainnya. Mas Mansur termasuk tokoh puncak Muhammadiyah yang meninggalkan karya tulis, pemikirannya luas dan ada sinyal-sinyal ke arah kemandirian dari arus pembaru Islam di dunia Islam serta mampu membaca dengan tajam kejatuhan Islam di masa lampau dalam suasana perkelahian madzhab Mas Mansur sebenarnya potensial sebagai sosok “menara gading” manakala tidak dipaksa oleh keadaan masa itu yang mengharuskannya bergumul dengan realitas yang kompleks dan kemudian menjadi rutin baik di tubuh Muhammadiyah maupun umat Islam yang tengah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia kala itu (Maarif, dalam Amir Hamzah, 1992: xiv-xvi).

Tradisi intelektual dalam Muhammadiyah mengalami proses pelembagaan melalui Majelis dan institusi Tarjih yang dibentuk sejak tahun 1927 atas prakarsa Man Mansur. Dengan prinsip mencari dalil yang paling kuat, sebenarnya tarjih potensial sebagai institusi yang memberi ruang leluasa untuk diskursus tentang permasalahan dan pemikiran-pemikiran Islam dalam berbagai aspeknya, yang di dalamnya berbagai pandangan yang kontra sekalipun dapat dibahas dan dicarikan jalan keluarnya. Pembahasan Masalah Lima (al-Masail al-Khams) tahun 1938 yang digagas Mas Mansur tentang hakikat agama, dunia, ibadah, sabilullah, dan qiyas/ijtihad; merupakan contoh dari institusi tarjih yang penting dalam membuka wacana atas masalah-masalah atau pemikiran-pemikiran Islam yang fundamental. Pembahasan tersebut kemudian dibawa ke Muktamar Khususi dan hasilnya dikodifikasi atau diputuskan pada tahun 1954/1955 sebagaimana rumusannya terdapat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih saat ini.


Namun pemiiran-pemikiran mendasar tentang Islam kurang dikembangkan dan dielaborasi pada babak perkembangan Tarjih berikutnya, sehingga di belakang hari warga Muhammadiyah kehilangan perspektif yang luas tentang Islam dalam berbagai aspeknya. Tahun 1969 sebenarnya Muhammadiyah juga menghasilkan konsep penting yakni Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah sebagai pandangan ideoplogis yang mendasar, tetapi pada fase berikutnya tidak disertai dengan pandangan filosofis tentang pandangan Islam dalam perspektif Muhammadiyah. Konsep al-Din al-Islamy yang sempat dibahas pada periode K.H. AR Fakhruddin sebenarnya merupakan langkah yang tepat, tetapi tidak berkelanjutan dan seolah menjadi konsep yang “mauquf”, bahkan naskahnya hingga saat ini belum diketahui secara jelas. Setelah Muktamar tahun 1985 di Surakarta terjadi situasi baru ketika Muhammadiyah memperoleh banyak kritik tajam dan luas sebagai mengalami stagnasi dalam kerutinan dan aktivisme, maka sejak itulah kemudian bermunculan banyak gagasan dan pemikiran kritis dari para cendekiawan muslim Muhammadiyah.

Pada perkembangan Muhammadiyah berikutnya terjadi suasana baru ketika Muhammadiyah di bawah kepemimpinan M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, dua sosok cendekiawan muslim yang menurut sementara kalangan merupakan genre baru dalam kepemimpinan Muhammadiyah setelah selama ini dipimpin oleh para “kyai” lulusan pondok pesantren, kendati sebenarnya kedua tokoh baru tersebut juga menempuh jalur pesantren. Pada masa K.H. Ahmad Azhar Basyir sebenarnya diharapkan terjadi proses transisi dari kecenderungan kepemimpinan “praksisme” dalam Muhammadiyah ke kepemimpinan “intelektual”, namun tokoh lulusan Al-Azhar yang juga dikenal ahli fiqh dan filsafat ini tidak lama memimpin Muhammadiyah karena wafat di pertengahan masa kepemimpinannya. Pada era sejak 1995 itulah iklim dan tradisi intelektual dirajut ulang dan memperoleh momentum baru dalam perkembangan Islam kontemporer dengan segala macam pemikiran dan dinamikanya yang beragam.

Namun pada era itu pula terjadi situasi baru berupa perkembangan politik nasional pasca kejatuhan rezim Orde Baru dan lahirnya reformasi 1998, yang membuat proses intelektual dan kultural baru itu seolah mandeg atau tersubversi oleh tarikan politik nasional yang niscaya. Dengan perkembangan makin kuatnya tarikan ideologi politik Islam yang dibawa gerakan Islamisme pada era penuh pergumulan nasional yang hiruk-pikuk itu, kebangkitan intelektualisme Islam itu harus berhadapan dengan realitas baru berupa aktivisme Islam yang berorientasi pada cita-cita politik Islam di tengah kuatnya kecenderungan pada puritanisme yang tengah bangkit penuh gairah dan melahirkan sikap penuh kecemasan terhadap laju intelektual Islam baik di tubuh Muhammadiyah maupun lebih luas lagi dalam kehidupan umat Islam di negeri ini.

Dalam konteks tertentu kecemasan terhadap laju intelektualisme Islam itu tumbuh akibat bias dan pengaruh sekularisme dan liberalisme Barat yang angkuh dan telah menyebarkan krisis kemanusiaan dalam kehidupan umat manusia di abad modern ini. Namun sikap penuh kecemasan itu sebaiknya tidak lantas semakin menjurus ke gerak pendulum lain yang sama ekstrimnya, yakni melahirkan gerakan anti-intelektual Islam dan lahirnya teosentrisme dan Islamisme yang serba monolitik, yang pada gilirannya justru menghambat laju peradaban Islam yang tengah bangkit. Jika hal itu terjadi maka gerakan Islam manapun akan semakin menjauh dari pesan Islam sebagai agama pembawa rahmatan lil-‘alamin di tengah lalulintas peradaban yang serba ekstrem saat ini.

Dalam konteks Muhammadiyah baik dalam membangkitkan tradisi intelektual maupun untuk mengukir kemajuan dan peran pembaruan gerakan Islam ini di tengah lalulintas gerakan dan peradaban yang majemuk saat ini, seyogianya berbagai masalah yang selama menjadi isu dan perdebatan diwacanakan secara cerdas dan dalam suasana jernih serta konstruktif. Daripada terjebak pada konstruksi monolitik dan menjadi pemicu perseteruan yang tidak produktif dalam stigma yang memvonis; lebih baik diwacanakan tentang persoalan sekitar isu plularisme, sekularisme, dan liberalisme secara mendalam dan dalam kerangka keilmuan yang melintasi. Pembahasan masalah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pandangan yang interdispliner dan dalam suasana keilmuan yang penuh keterbukaan dan rendah hati, bukan dalam debat kusir dan melibatkan massa yang justru menambah suasana tidak kondusif untuk berdialog dan berwacana.

Demikian pula dapat diwacanakan isu-isu mendasar tentang “Islam kaffah”, “Islam murni”, dan apa yang termasuk dalam kategori “yang tetap” dan “yang berubah” dalam ajaran Islam, sehingga tidak melahirkan klaim yang satu merasa lebih Islami daripada lainnya di tubuh umat Islam maupun Muhammadiyah. Dalam wacana yang dianjurkan Islam itu Majelis Tarjih dan Tajdid dan berbagai institusi lain dalam Muhammadiyah dapat memprakarsai forum yang penting itu, dengan tetap berada dalam diskursus ilmiah yang cerdas dan santun sebagaimana tradisi Muhammadiyah selama ini. Akan lebih produktif manakala pembahasan masalah-masalah tersebut dirancang dalam satu paket menuju pembahasan dan perumusan tentang Risalah Islam yang komprehensif sehingga menjadi produk pemikiran Muhammadiyah yang cemerlang.

Semoga para elite dan generasi Muhammadiyah saat ini mampu menangkap spirit kelahiran Muhammadiyah yang membawa obor pembaruan Islam yang mencerahkan itu. Dengan demikian tradisi intelektual pun akan lahir dari rahim gerakan yang berjiwa pembaruan itu tanpa harus merasa canggung dan seolah menjadi genre sempalan. Bersamaan dengan memperkaya basis iman dan akkhlak yang kokoh serta bersifat transformasional, generasi Muhammadiyah secara niscaya dituntut untuk merawat dan mengembangkan tradisi intelektualnya yang selama ini telah diletakkan fondasinya oleh Kyai Dahlan dan para pendahulu gerakan Islam ini. Di tengah zaman yang penuh kontradiksi saat ini, dengan tetap tampil cerdas, rendah hati, kaya pemikiran, dan memiliki pijakan yang kokoh dalam bingkai ajaran Islam yang serba melintasi, generasi Muhammadiyah sungguh dinanti peran kesejarahannya untuk menghadirkan Islam sebagai risalah rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Nasrun min Allah wa fathun qarib.

By DR. H. Haedar Nashir, M.Si
Rabu, 18 Februari 2009 pukul 15:23:00
http://www.republika.co.id/berita/32252/Tradisi_intelektual_dalam_Muhammadiyah_1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar