Kamis, 05 Maret 2009

Gerakan Budaya Amien Rais

Gerakan Budaya Amien Rais

Sebagai warga Muhammadiyah yang baik, sebagai orang Islam yang ramah, sebagai bagian dari orang Jawa dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, M Amien Rais termasuk yang amat peduli dengan kehidupan budaya. Oleh karena itu, ia terus melakukan gerakan budaya yang sangat siginifikan dengan denyut budaya Indonesia yang kita cita-citakan. Mungkin sesuai dengan pemikiran Pak Kuntowijoyo, mungkin juga tidak, yang jelas M Amien Rais awalnya melakukan gerakan budaya itu sebagai pribadi, sebagai individu, bukan sebagai orang lembaga.

Salah satu ‘ijtihad’ dari Pak Kuntowijoyo yang pernah saya baca adalah bahwa gerakan budaya atau prestasi budaya sebaiknya dilakukan pada tingkat individu, tak usah dilembagakan. Lembaga, atau organisasi (persyarikatan) hanya diposisikan sebagai lembaga penyedia fasilitas saja. Mungkin Pak Amien Rais tidak pernah berfikir rumit soal strategi lembaga atau individu budaya itu. Yang penting, gerakan budaya harus ada, dan itu sekarang sangat dibutuhkan.

Sewaktu awal-awal periode penulis menjadi wartawan dan sering ‘diuji’ oleh Pak Amien Rais waktu mau wawancara (dengan terus mengubah-ubah jadwal wawancara sampai empat kali, tetapi penulis tetap ‘keras kepala’ mau wawancara) pernah dalam mobil penulis mengamati kaset-kaset kegemaran Pak Amien. Ternyata penyanyi beraliran ‘beat’ seperti Nat King Cole menjadi kegemarannya. Waktu ditanya, jawabnya sederhana, ia merasa cocok dengan lagu-lagu yang pada zaman ia muda dulu ngetop sekaligus ngehit itu. Pada zaman itu Elvis Presley si raja musik rock’n roll sudah muncul tapi pak Amien merasa lebih dapat menikmati Nat King Cole. Mungkin karena lirik-liriknya masih dapat dinikmati.

Ternyata Pak Amien masih memiliki simpanan yang lain. Ia penggemar seni humor tinggi gaya Yogya yang dipelopori Basiyo dan musik langgam Jawa yang telah diperkaya dan mengalami ‘modernisasi’ berkat tangan dingin ahli karawitan dan dalang Ki Nartosabdo. Simpanan yang lain yang tak kalah signifikan adalah, pada zaman Pak Amien sekolah SD dan SMP ternyata Muhammadiyah Surakarta sangat welcome dengan seni tradisional. Ketika diadakan lomba tembang Jawa Pak Amien sering ikut meski belum pernah menang. Lain dengan Gesang yang kader Muhammadiyah, yang kemudian menekuni keroncong sampai membuat namanya mendunia berkat Bengawan Solo karyanya. Sentuhan pendidikan seni di sekolah Muhammadiyah mampu mengubah Gesang menjadi pencipta karya musik berkualitas dan kemudian hari mampu menggerakkan Pak Amien Rais menjadi salah satu penggerak budaya di Indonesia. Memang Solo menyimpan energi budaya yang cukup melimpah yang terus meregenerasi. Banyak jago-jago budaya tingkat nasional dan internasional ternyata berasal dari Solo. Mulai dari Rendra, Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Dawam Raharjo, sampai aktivis Teater Gidag-Gidig yang fenomenal. Sedang untuk keroncong dan langgam Jawa, selain Gesang dan Waljinah, Solo juga melahirkan Anjar Ani yang mengarang lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang yang terkenal itu. Masih banyak lagi, termasuk sastrawan Jawa legendaris Any Asmara dan Asmarawan Kho Ping Hoo.

Yang patut dicatat, semua simpanan energi budaya Pak Amien Rais itu kalau dicermati sama sekali tidak mengurangi kualitas beragama beliau yang berfaham Muhammadiyah, juga tidak mengurangi kualitas pemikiran keagamaan dan pemikiran politiknya (sebagai ahli ilmu politik), serta tidak mengurangi kualitas kepemimpinannya. Bahkan energi budaya itu justru membuat Pak Amien semakin lengkap dan semakin kaya dimensi kemanusiaannya.

Penulis yang mendapat kesempatan mengamati secara langsung dan dekat Pak Amien Rais pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Banda Aceh betul-betul terkejut dan kecele. Sebab semula yang terbayang adalah Pak Amien itu orang keras, tanpa kompromi demi prinsip, terlalu rasional dan menakutkan. Ternyata tidak. Energi budaya yang tersembunyi pada beliau mampu membuatnya arif dalam menentukan tindakan dan langkah-langkahnya.

Dengan santai dan penuh percaya diri Pak Amien Rais merangkul banyak tokoh yang semula dicitrakan sebagai rival dan lawan beratnya. Lewat berbagai pidato berbahasa Inggris dan berbahasa Arab nyaris membuat Pak Amien Rais tak tertandingi. Para pengagumnya terpesona mendengar kefasihan berbicaranya. Dan pada akhir Muktamar ada kata penting yang patut dicatat.

“Seorang pemimpin itu harus mirip tukang kayu yang pintar. Semua kayu harus dapat ia manfaatkan,” demikian katanya ketika menggambarkan bagaimana semua kader dalam persyarikatan harus diberi tempat untuk berpartisipasi, meski ia termasuk kader kecil-kecilan.

Setelah tidak lagi menjadi Ketua PP Muhammadiyah, karena mendapat amanah untuk memimpin partai politik PAN yang kelahirannya merupakan ijtihad bersama dari Tanwir Semarang maka energi budaya Pak Amien rupanya terus bergolak. Justru ketika menjadi ketua partai ini perhatiannya pada denyut budaya Indonesia makin tinggi. Pada tingkat wacana Pak Amien berkali-kali memberi orasi budaya di forum-forum terhormat, termasuk di Taman Ismail Marzuki. Pada tingkat aksi, berbagai seni tradisional disantuni dan diajak untuk tampil kembali, termasuk Pangkur Jengglegnya Basiyo. Sedang seni yang masih kuat pengaruhnya seperti wayang tak lupa digauli.
Dengan demikian, hari-hari ini Pak Amien Rais tampak lebih sering hadir sebagai aktivis budaya ketimbang sebagai politisi. Gerakan budaya yang digulirkan betul-betul terasa dan dirasakan oleh rakyat bawah.

Mustofa W. Hasyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar