Sabtu, 05 September 2009

MENJADI KADER MUHAMMADIYAH SEJATI

MENJADI KADER MUHAMMADIYAH SEJATI
-
Jabrohim
Hari-hari menuju Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan berlangsung di Yogyakarta ada baiknya dan ada asyiknya berbincang-bincang tentang kader Muhammadiyah. Lebih-lebih, memperbincangkan tentang kader sejati Muhammadiyah, yaitu kader yang menjadi pilar penyangga Persyarikatan sehingga Muhammadiyah dapat bertahan hidup dan terus mengembangkan diri sampai pada usia satu abad. Rasanya tidak masuk akal kalau Muhammadiyah dapat melewati satu abad kalau tidak didukung oleh para kader sejati Muhammadiyah. Lantas, siapakah mereka?
Di beberapa daerah yang menjadi tempat lokasi Kuliah Kerja Nyata dari mahasiswa lembaga pendidikan tempat penulis mengabdi banyak sekali dijumpai para kader Muhammadiyah sejati. Anehnya, mereka itu biasanya orang yang sudah tua, namanya tidak terkenal, sikapnya sederhana, tidak selalu punya kedudukan formal dalam persyarikatan, tidak pernah menonjolkan diri tetapi hampir semua warga Muhammadiyah dan pimpinan Muhammadiyah di sekitarnya menghormati dia. Mungkin inilah yang disebut oleh dr Agus Sukoco sebagai orang yang telah sukses ber-Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah menjadi matahari bagi bangsa, maka dia pun bisa menjadi matahari bagi lingkungannya. Artinya, selalu mampu menyinarkan kebaikan, kehangatan dan memancarkan kecerahan bagi sekitarnya.
Kalau dicermati, kebanyakan para kader Muhammadiyah sejati itu memiliki ciri-ciri khusus yang hampir sama. Pertama, mereka adalah orang-orang yang telah jatuh cinta pada Muhammadiyah, kemudian mencintai Muhammadiyah sepanjang hidupnya. Proses jatuh cinta seseorang pada Muhammadiyah dapat bermacam-macam, penyebabnya juga bermacam-macam, serta salurannya tidak selalu sama.
Ada yang bercerita, dia jatuh cinta pada Muhammadiyah itu secara perlahan-lahan. Kebetulan orangtuanya adalah aktivis persyarikatan. Dia sering diajak ke pengajian dan ke pertemuan yang diadakan oleh Muhammadiyah. dia juga mengenal Muhammadiyah dari sekolah, yaitu sekolah Muhammadiyah yang ada di desanya. Setelah selesai kuliah, dia bekerja menjadi guru, kemudian menikah dengan seorang gadis yang juga aktivis NA. Saat berumah tangga dan punya anak satu, dia mulai sadar, ternyata dia diam-diam telah jatuh cinta kepada Muhammadiyah. Ia pun makin giat dalam persyarikatan. Apalagi dalam soal keuangan dia tidak mengalami kesulitan. Orangtuanya mewariskan tanah persawahan dan kebun yang cukup luas. Mertuanya, mewariskan toko yang cukup besar di dekat pasar. Isterinya yang aktif mengelola toko. Sementara, di sela-sela waktu mengajar dia merawat dan menekuni kegiatan di sawah dan kebun. Karena kesibukan dia mengajar dan kemudian menjadi muballigh, dia kemudian membayar orang untuk mengerjakan sawah dan merawat kebun.
Ia aktif di Muhammadiyah tanpa mengharap imbalan apa pun. Bahkan, ketika Muhammadiyah, atau Aisyiyah, atau ortom minta sumbangan, ia selalu menyumbang dana yang cukup memadai. Ketika sekolah Muhammadiyah, tempat dia belajar dulu, ingin membangun gedung, melengkapi fasilitas pendidikan dan memperluas kompleks persekolahan, ia dengan suka rela menyumbang dana yang banyak, sehingga kebutuhan sekolah itu tercukupi. Demikian juga, ketika surau kecil tempat dia mengaji dulu akan dikembangkan dan ditingkatkan statusnya menjadi masjid. Ia bahkan diminta menjadi ketua panitia pembangunan masjid. Dalam waktu setahun, masjid itu telah berdiri, megah dan bersih dan selalu ramai oleh kegiatan jamaah. Ia sendiri memberi contoh bagaimana seharusnya berjuang di Muhammadiyah secara bersungguh-sungguh. Yaitu berjuang dengan harta, waktu, pikiran dan tenaganya. Dengan demikian, ketika ia diminta atas keputusan rapat, untuk menjadi ketua panitia pembangunan masjid maka para donatur pun percaya pada dia, dan ke manapun dia pergi untuk mengusahakan dana bagi pembangunan masjid orang akan selalu menerima dengan baik, kemudian mau menyumbang dengan suka rela. Dan ia pernah terpilih menjadi Ketua PRM, tetapi hanya bersedia untuk waktu dua periode saja. Setelah itu, dia hanya mau menjadi Penasehat atau menjadi anggota Korps Muballigh Muhammadiyah di tingkat PRM.
Desanya kemudian dikenal sebagai basis Muhammadiyah, dan dia dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang selalu siap membantu Persyarikatan. Kalau ada muktamar dia bersama isterinya selalu menggerakkan warga untuk datang ke lokasi muktamar bersama keluarganya. “Perhelatan besar seperti muktamar adalah momentum yang paling tepat untuk memberi pembelajaran ke-Muhammadiyahan dan ke-Islaman kepada anak-anak kita. Kenapa? Karena dalam Muktamar, anak-anak akan melihat sendiri bagaimana ke-Muhammadiyahan dipraktikkan dan ke-Islaman juga dipraktikkan oleh para aktivis dan simpatisan Muhammadiyah yang datang ke lokasi Muktamar itu,” katanya.
Ada juga kader Muhammadiyah sejati yang bercerita bahwa pada mulanya dulu dia tidak suka pada Muhammadiyah. Akan tetapi ketika dia sakit dan dirawat di PKU Muhammadiyah, dia pun spontan jatuh cinta pada Muhammadiyah. Ia sangat mengagumi para perawat yang ramah, dokter yang sungguh-sungguh dalam merawat dia, manajemen rumah sakit yang rapi, suasana rumah sakit sangat tenang dan terasa relijius. Waktu itu dia kaget dan merasa menyesal kenapa dia pernah tidak suka pada Muhammadiyah. Sepulang dari rumah sakit dia langsung mendatangi tokoh Muhammadiyah untuk menyatakan maksudnya bergabung dengan Muhammadiyah. Pilihan untuk bergabung ini ternyata tepat. Sebab, dia dapat mengekspresikan cintanya pada Islam lewat Muhammadiyah. Dan bagi Muhammadiyah sendiri bergabungnya orang ini merupakan faktor plus. Sebab, pada waktu-waktu berikutnya dia selalu berjuang di Muhammadiyah, bersama Muhammadiyah dan untuk Muhammadiyah. ketika ditanya, apa sesungguhnya yang ingin dia lakukan setelah jatuh cinta pada Muhammadiyah, dia selalu menjawab bahwa sisa hidupnya akan ia isi dengan semua kegiatan yang maknanya adalah, ia akan selalu memberi pada Muhammadiyah dan tidak mau meminta apa pun dari Muhammdiyah. “Semangat untuk memberi pada Muhammadiyah itulah, yang selalu saya tanamkan kepada diri saya, keluaga dan para tetangga di desa ini. Dengan demikian, selalu ada harapan Muhammadiyah di tempat ini akan makin maju,” katanya lirih.
Ada yang jatuh cinta kepada Mhammadiyah saat aktif di ortom. Ketika masih sekolah menengah ia bergabung dengan IPM di kampung. Menjadi sekretaris kelompok. Ia mula-mula tidak tahu apa itu IPM dan apa itu Muhammadiyah. ia diajak tetangga yang kemudian menjadi ketua kelompok. Dan setelah dilantik, ia baru mengenal istilah up grading yang diadakan untuk para pengurus pada awal periode kepemimpinan. Yang mengisi up grading adalah para tokoh Muhammadiyah dan tokoh ortom. Dari kegiatan up grading ini ia mulai mengenal Muhammadiyah dan berbagai amal kegiatannya. Ini memudahkan dia ketika dia kuliah, ia pun ikut IMM di kampus. Meski di kampusnya IMM minoritas, tetapi teman-teman aktivisnya ternyata militan. Mereka jago membaca buku, jago diskusi, jago memberi training dan jago menulis. Ia makin bergairah untuk selalu aktif di ortom itu. Dan setelah selesai kuliah, ia bekerja dan di tempat kerjanya yang baru ia bertemu dengan sesama alumni IMM. Di situ ia diajak untuk masuk Pemuda Muhammadiyah. Di tempat kerja yang baru ia mendapat jodoh perempuan muda anak seorang kiai. Sebelum ia mendapat restu, kiai itu menguji dirinya untuk mengaji Al-Qur’an. Kiai itu heran, dan berkomentar ,”Ada anak muda Muhammadiyah kok ngajinya lancar seperti lulusan pesanren saja.” Dalam hati ia mendongkol juga, tetapi karena ingin mendapatkan anaknya, ia tetap sabar. Bahka ia merasa bersyukur, karena waktu di IPM dulu ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah yang lulusan pesantren. Ia pun mengaji di sana. Mengaji Al-Qur’an. Hadits dan kitab kuning, dengan diam-diam. Sekarang semua itu baru terasa manfaatnya. Pak kiai calon mertua itu mengajak masuk keperpustakaan pribadi kemudian memilih sebuah kitab kuning, ia buka lalu dia disuruh membaca. Mula-mula ia baca judulnya, dan setelah tahu judulnya, ia ingat kalau kitab ini berisi uraian tentang ilmu tauhid. Dengan tenang ia membaca kitab itu lalu ia artikan. Setelah selesai ganti ia yang bertanya,”Bapak ini Kiai NU kok bacaannya malahan kitab karangan Muhammad Abduh.” Kiai itu tersenyum, lalu mengambil kitab yang lain. Ternyata, itu kitab tafsir Al Manar. “Saya menemukan banyak hal yang baru di sini.” Singkatnya, ia menjadi menantu kiai itu dan ia diperbolehkan untuk terus aktif di Pemuda Muhammadiyah. Bahkan kemudian ketika anak-anak lahir dan ia menjadi aktivis Muhammadiyah, hubungan dia dengan mertua baik-baik saja, dan membolehkan anaknya aktif di Aisyiah.
Untuk menjadi kader sejati Muhammadiyah, asal usul ortom yang pernah dimasuki tidak menjadi masalah. Orang dapat jatuh cinta kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah sepanjang hidupnya bisa lewat IPM, IM, Pemuda Muhammadiyah, Tapak Suci, HW, NA, bahkan banyak yang mula-mula aktivis PII dan HMI kemudian menjadi aktivis Muhammadiah yang dapat diandalkan. Orang yang bukan berasal dari ortom apa pun, ketika di kampus umum berkenalan dan akrab dengan tokoh Muhammadiyah pun dapat tercerahkan, jatuh cinta dan kemudian menjadi aktiivis Muhammadiyah. Mereka merasa dihargai di Muhammadiyah, dan banyak dilibatkan dalam banyak kegiatan. Itulah gunanya dakwah bil hal, billisan, bil qolam bil hikmah, bil mau’idlotil hasanah, dakwah kultural dalam arti luas. Setelah melewati proses tertentu, seseorang yang semula tidak kenal Muhammadiyah bisa saja justru menjadi pecinta berat Muhammadiyah. tentu saja mereka perlu terus dibina dan diberi contoh agar kemudian benar-benar dapat berkembang dan tumbuh menjadi kader Muhammadiyah sejati.
Ciri kedua dari kader sejati Muhammadiyah adalah, mereka juga dekat, menghargai dan menghormati kader-kader Muhammadiyah di bawah usianya. Maka tidak mengherankan jika para kader sejati ini, meski usia dia telah senja, dia masih mampu untuk selalu akrab dan berkomunikasi dengan anak muda. Ia sadar bahwa sebagai manusia, ia memiliki keterbatasan, baik waktu, tenaga, pikiran, harta mau pun wawasan dan jaringan. Saat masih aktif di struktur pimpinan ia selalu memberi kesempatan dan memfasilitasi agar orang lain juga berkembang dan muncul menjadi tokoh Muhammadiyah. Lebih-lebih pada anak muda. Mereka dia dekati, dia bimbing secara lembut dan dia motivasi agar mau terus berjuang. Kalau ada masalah, ia ikut memikirkan dan mencari jalan keluar. Termasuk masalah studi, kerja dan keinginan berumah tangga. Anak muda itu selalu terbuka kepada tokoh Muhammadiyah ini. Kedekatannya sudah mirip dengan kedekatannya dengan orang tua sendiri. Tentu saja, ia tidak selalu lemah lembut, kadang kala ia juga bersikap keras dan tegas. Kalau diperlukan ia akan tampil sebagai pemimpin yang tahu caranya memimpin dan tahu betul arah yang dia tuju dengan kepemimpinannya. Dengan demikian, ketika suatu hari Cabang atau Rantingnya menjadi lokasi mahasiswa KKN, dan kemudian menjadi tuan rumah pelaksanaan Hari ber-Muhammadiyah, ia dengan mudah menggerakkan semua aktivis Persyarikatan di situ. Prinsip dia, beda usia tidak menghalangi komunikasi antargenerasi dan beda pengalaman dan ilmu tidak menghalangi untuk kerjasama antargenerasi. “Hari gini, sudah bukan ceritanya lagi ada gap antargenerasi, apalagi ada konflik antara Bapak Muhammadiyah dengan Ibu Aisyiyah dan para aktivis ortom. Kalau mau, kita semua dapat membuktikan bahwa kompak itu jelas lebih indah ketimbang tidak kompak,” katanya meniru gaya anak gaul zaman sekarang.
Ciri ketiga, ini yang unik dan makin langka, para kader Muhammadiyah sejati itu mampu melakukan langkah apa yang disebut sebagai melembagakan pribadi, dan bukannya mempribadikan lembaga. Ia sadar betul kenapa dulu KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah, mendirikan sebuah persyarikatan. Dan itu artinya, KHA Dahlan melakukan langkah besar bernama upaya pelembagaan cita-cita. Yaitu ingin membuat agama Islam ini menjadi nyata di bumi dengan berdasar tauhid yang jernih, pikiran yang jernih, tindakan yang jernih serta mempergunakan harta yang jernih agar kehidupan ini pun dapat dijernihkan kembali. Dengan mendirikan persyarikatan atau organisasi maka kepemimpinan diserahkan kepada lembaga, tidak kepada pribadi. Orang yang terpilih menjadi ketua misalnya, ia adalah mandataris yang menjalankan amanat dari lembaga itu. Maka etika berorganisasi ia jaga betul, musyawarah menjadi bagian pengambilan keputusan dan otoritas kepemimpinan yang dipegang adalah otoritas jamai, atau kepemimpinan kolegial.
Bukan hanya terbatas pada kepemimpinan saja kesadaran dan langkah pelembagaan pribadi ini dilakukan. Ketika ia makin menyadari bahwa ia adalah bagian integral dari Muhammadiyah maka seluruh hidup dan keluarganya ia orientasikan untuk perjuangan dakwah Muhammadiyah. Isteri, anak dan cucunya ia ajak terlibat dan berjuang bersama untuk Muhammadiyah. Penulis pernah mendengar ada tokoh Muhammadiyah yang berkarakter sebagai kader sejati, setelah mewakafkan waktu dan tanahnya yang luas untuk membangun pesantren Muhammadiyah dan sekolah, dia pun mengirim sembilan anaknya untuk kuliah di berbagai kota besar yang di situ ada perguruan Muhammadiyah yang berkualitas. Mereka dia minta untuk mempelajar sembilan cabang keilmuan, dan ini uniknya, mereka juga diminta untuk mencari pasangan hidup yang berasal dari cabang ilmu yang berbeda. Ketika semua anak menikah, mereka memiliki latar belakang delapan belas disiplin ilmu yang berbeda. Dengan demikian ketika mereka pulang merantau atau kembali ke desa asal, pesantren dan sekolah Muhammadiyah itu tidak kekurangan pendidik yang ahli dalam semua cabang keilmuan. Strategi tokoh Muhammadiyah ini jitu sekali. Upaya pelembagaan pribadi, dalam arti ia berhasil menjadikan semua pribadi dalam keluarga sehingga menjadi bagian integral lembaga Muhammadiyah. Mungkin ini sebuah contoh yang eksrim, tetapi terbukti ada, nyata dan banyak. Dan Muhammadiyah di suatu tempat bisa kuat, bertahan lama kemudian berkembang terus karena hadirnya orang-orang seperti ini.
Selain tiga ciri di atas, tentu masih banyak ciri lain yang menandai bahwa kader Muhammadiyah sejati itu masih bertebaran di sekitar kita. Mereka orang baik, aktif dan ikhlas dan tidak butuh publikasi karena bukan artis dan selebritis, mereka tidak terkenal dan populer. Tetapi di mata tetangga dan orang-orang sekitarnya, mereka sungguh berguna, dan ketika mereka meninggal maka orang-orang pun sungguh merasa kehilangan.l
_______________________________
Penulis adalah Kepala Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Categories : AGUST 2009 | SM 16-09

http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=825