Kamis, 05 Maret 2009

Din Syamsudin Tawarkan 10 Watak Budaya Merdeka

Din Syamsudin Tawarkan 10 Watak Budaya Merdeka

BANDARLAMPUNG -- Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, menawarkan sepuluh watak budaya merdeka yang perlu menjadi budaya baru Bangsa Indonesia."Kita perlu bersama-sama bangkit membangun dengan paradigma pertumbuhan berkelanjutan yang bermakna bertumpu pada tiga fondasi," kata dia pada sidang kedua Tanwir Muahammadiyah di Bandarlampung, Kamis.
Pertama, lanjut dia, membangun sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.Kemudian, menciptakan lapangan pekerjaan yang seluasnya, khususnya di sektor pertanian dan industri padat karya.Ketiga, kebijakan politik yang berpihak kepada mayoritas rakyat.
Ia menjelaskan, paradigma tersebut mengandung arti, yakni membangun satu sisi tetapi tidak menjebol sisi lain.
"Kita tidak menolak kerjasama luar negeri, tapi tidak melupakan kedaulatan negeri," katanya.
Selanjutnya, dalam bidang ekonomi umpamanya, memerlukan pertumbuhan tetapi tanpa mengabaikan pemerataan dan keadilan sosial."Inilah paradigma jalan tengah yang ditawarkan Islam, sebagai 'agama tengahan', dan diserukan untuk memberi kesaksian kepada dunia yakni dengan menampilkan bukti-bukti kemajuan dan peradaban," kata dia.
Jalan tengah tersebut, lanjutnya, perlu menjadi bagian dari kesadaran umat Islam dan Bangsa Indonesia, serta perlu mengkristal menjadi watak bangsa yakni dasawatak budaya merdeka.Dasawatak budaya merdeka gagasan Din Syamsudin itu yakni, merdeka dari kebiasaan mementingkan diri sendiri atau kelompok dengan mengedepankan kepentingan publik dan kepentingan bangsa yang lebih luas.
Kemudian, merdeka dari tirani perasaan benar sendiri menjadi anak bangsa yang toleran dan menghargai perbedaan.
Merdeka dari sifat-sifat feodalisme dan primordialisme menjadi egalitarian yang menempatkan sesama anak bangsa dalam posisi dan perlakuan yang sama.Selanjutnya, merdeka dari budaya yang hanya mencela belaka dengan membangun budaya menghargai upaya dan hasil karya orang lain; merdeka dari budaya nepotisme dengan mengedepankan budaya meritokrasi atau prestasi.
Selanjutnya adalah merdeka dari budaya kekerasan menjadi bangsa yang beradab dalam menyelesaikan setiap persoalan.Merdeka dari kebiasaan korupsi dan mulai bekerja membangun prestasi dan menuai karya dari hasil keringat sendiri.
Selain itu, merdeka dari ketergantungan dari bangsa lain dan mulai membangun kemandirian nasional, melalui kerjasama internasional yang adil dan saling menguntungkan.Kemudian, merdeka dari rasa rendah diri dalam pergaulan antarbangsa dan menjadi bangsa yang berdiri sama tinggi dengan bangsa lain di dunia, serta merdeka dari kecintaan pada dunia fana belaka dan mulai menyeimbangkan kehidupan dengan menjalankan ajaran agama yang baik.ant/kpo

By Republika Newsroom
Kamis, 05 Maret 2009 pukul 21:39:00
Font Size A A A
EMAIL
PRINT
Facebook
http://www.republika.co.id/berita/35671/Din_Syamsudin_Tawarkan_10_Watak_Budaya_Merdeka

Mahasiswa: 6 Visi Reformasi Dikhianati

Mahasiswa: 6 Visi Reformasi Dikhianati
Kamis, 22 Mei 2003

JAKARTA -- Bertepatan dengan lima tahun reformasi (21 Mei 1998-21 Mei 2003), mahasiswa turun ke jalan. Mereka merasa enam visi reformasi telah dikhianati oleh jajaran eksekutif dan legislatif.

Di Jakarta, aksi diarahkan ke depan Istana Negara dan gedung DPR/MPR Senayan. Aksi di depan istana dilakukan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan HMI Cabang Bogor.

Aksi lebih banyak terjadi di depan gedung DPR/MPR. Mereka terdiri dari berbagai elemen mahasiswa, termasuk Komite Rakyat Indonesia Bersatu (KRIB) Bandung yang melakukan long-march ke Jakarta. Rencananya mereka akan menduduki gedung tersebut.

Mahasiswa menilai bahwa terhitung sejak lengsernya Orde Baru pada 21 Mei 1998, rakyat belum merasakan perubahan berarti. KKN masih menjamur, penegakan hukum lemah, proses pemulihan ekonomi setengah hati, banyaknya konflik di daerah, dan beban utang rakyat makin berat.

Dalam kondisi seperti ini, menurut mahasiswa, kepemimpinan nasional tidak menunjukkan upaya perbaikan yang signifikan. Sebaliknya, ada kecenderungan jajaran eksekutif dan legislatif mencederai amanat reformasi.
IMM menuntut Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wapres Hamzah Haz melaksanakan amanat reformasi dalam waktu dekat.

Jika tidak, ''maka tidak ada jalan lain bagi Mega-Hamzah memperpanjang kekuasaannya.'' Ancaman ini pun dituangkan dalam spanduk yang berbunyi, antara lain, ''Serahkan Pemerintahan Kepada Kaum Muda'' dan ''Rakyat Tidak Mau Dibodohi Lagi''.

Di gerbang DPR/MPR ratusan mahasiswa mengusung sebuah karangan bunga tanda berduka cita atas matinya reformasi di negeri ini. Karangan bunga tersebut diletakkan tepat di pintu gerbang gedung wakil rakyat tersebut. Dalam orasinya mereka menyatakan akan memboikot pesta demokrasi rakyat (pemilihan umum) pada 2004.
]
Mahasiswa berusaha memasuki halaman gedung tersebut, tetapi dihadang aparat kepolisian. Mereka mencoba mendorong gerbang. Aksi mereka disambut semprotan air dari water canon yang sudah disiapkan.
Sekira pukul 19.10 aksi mahasiswa itu dibubarkan. Massa kocar-kacir.

Sebanyak delapan orang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya. Satu di antaranya adalah sopir kendaraan yang membawa rombongan mahasiswa.
Kabidhumas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Prasetyo, menyatakan alasan pembubaran itu karena mahasiswa telah melampaui batas waktu yang ditetapkan undang-undang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Selain di Jakarta, aksi unjuk rasa digelar di beberapa kota besar di Indonesia. Ada yang berlangsung damai, tapi ada pula yang berakhir dengan kekerasan seperti yang terjadi di Makassar. lhk/osa/dam/run

KH Ahmad Dahlan memberikan analisa,

KH Ahmad Dahlan memberikan analisa,

apa sebab manusis tidak mau menerima kebenaran, atau apa sebab mereka sesat. Dia berpendapat sebab-sebabnya adalah :

1. Bodoh. Ini yang paling banyak. Mereka belum mengetahui atau mengerti ajaran yang benar
2. Belum kedatangan ajaran Islam
3. Tidak cocok dengan orang yang membawa kebenaran, apalagi orang itu musuh
4. Mereka telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang dicintai lebih dahulu. Kebanyakan manusia sudah mempunyai kepercayaan lebih dahulu, kemudian mencari dalil-dalil yang memperkuat atau yang cocok dengan apa yang menjadi kepercayaannya. Jarang sekali orang mencari ilmu/dalil-dalil, mencari mana yang benar untuk dipegang dan dikerjakan
5. Mereka takut berpisah dengan keluarganya, kawan-kawannya, takut kehilangan apa yang menjadi kesenangannya (harta, benda, kedudukan) dan karena takut menderita kesusahan dan dirasa berat
6. Tidak berani menjalankan barang (sesuatu) yang benar karena takut sakit dan mati

Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama. Tetapi tidak ada satupun yang mengajukan pertanyaan demikian : ‘harus bagaimanakah supaya diriku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa? Beramal apa? Menjauhi dan meninggalkan apa?

Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwa (nyawa) sekalipun. Jiwamu (nyawamu) tak usah kamu tawarkan, kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tetapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.

Gerakan Budaya Amien Rais

Gerakan Budaya Amien Rais

Sebagai warga Muhammadiyah yang baik, sebagai orang Islam yang ramah, sebagai bagian dari orang Jawa dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, M Amien Rais termasuk yang amat peduli dengan kehidupan budaya. Oleh karena itu, ia terus melakukan gerakan budaya yang sangat siginifikan dengan denyut budaya Indonesia yang kita cita-citakan. Mungkin sesuai dengan pemikiran Pak Kuntowijoyo, mungkin juga tidak, yang jelas M Amien Rais awalnya melakukan gerakan budaya itu sebagai pribadi, sebagai individu, bukan sebagai orang lembaga.

Salah satu ‘ijtihad’ dari Pak Kuntowijoyo yang pernah saya baca adalah bahwa gerakan budaya atau prestasi budaya sebaiknya dilakukan pada tingkat individu, tak usah dilembagakan. Lembaga, atau organisasi (persyarikatan) hanya diposisikan sebagai lembaga penyedia fasilitas saja. Mungkin Pak Amien Rais tidak pernah berfikir rumit soal strategi lembaga atau individu budaya itu. Yang penting, gerakan budaya harus ada, dan itu sekarang sangat dibutuhkan.

Sewaktu awal-awal periode penulis menjadi wartawan dan sering ‘diuji’ oleh Pak Amien Rais waktu mau wawancara (dengan terus mengubah-ubah jadwal wawancara sampai empat kali, tetapi penulis tetap ‘keras kepala’ mau wawancara) pernah dalam mobil penulis mengamati kaset-kaset kegemaran Pak Amien. Ternyata penyanyi beraliran ‘beat’ seperti Nat King Cole menjadi kegemarannya. Waktu ditanya, jawabnya sederhana, ia merasa cocok dengan lagu-lagu yang pada zaman ia muda dulu ngetop sekaligus ngehit itu. Pada zaman itu Elvis Presley si raja musik rock’n roll sudah muncul tapi pak Amien merasa lebih dapat menikmati Nat King Cole. Mungkin karena lirik-liriknya masih dapat dinikmati.

Ternyata Pak Amien masih memiliki simpanan yang lain. Ia penggemar seni humor tinggi gaya Yogya yang dipelopori Basiyo dan musik langgam Jawa yang telah diperkaya dan mengalami ‘modernisasi’ berkat tangan dingin ahli karawitan dan dalang Ki Nartosabdo. Simpanan yang lain yang tak kalah signifikan adalah, pada zaman Pak Amien sekolah SD dan SMP ternyata Muhammadiyah Surakarta sangat welcome dengan seni tradisional. Ketika diadakan lomba tembang Jawa Pak Amien sering ikut meski belum pernah menang. Lain dengan Gesang yang kader Muhammadiyah, yang kemudian menekuni keroncong sampai membuat namanya mendunia berkat Bengawan Solo karyanya. Sentuhan pendidikan seni di sekolah Muhammadiyah mampu mengubah Gesang menjadi pencipta karya musik berkualitas dan kemudian hari mampu menggerakkan Pak Amien Rais menjadi salah satu penggerak budaya di Indonesia. Memang Solo menyimpan energi budaya yang cukup melimpah yang terus meregenerasi. Banyak jago-jago budaya tingkat nasional dan internasional ternyata berasal dari Solo. Mulai dari Rendra, Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Dawam Raharjo, sampai aktivis Teater Gidag-Gidig yang fenomenal. Sedang untuk keroncong dan langgam Jawa, selain Gesang dan Waljinah, Solo juga melahirkan Anjar Ani yang mengarang lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang yang terkenal itu. Masih banyak lagi, termasuk sastrawan Jawa legendaris Any Asmara dan Asmarawan Kho Ping Hoo.

Yang patut dicatat, semua simpanan energi budaya Pak Amien Rais itu kalau dicermati sama sekali tidak mengurangi kualitas beragama beliau yang berfaham Muhammadiyah, juga tidak mengurangi kualitas pemikiran keagamaan dan pemikiran politiknya (sebagai ahli ilmu politik), serta tidak mengurangi kualitas kepemimpinannya. Bahkan energi budaya itu justru membuat Pak Amien semakin lengkap dan semakin kaya dimensi kemanusiaannya.

Penulis yang mendapat kesempatan mengamati secara langsung dan dekat Pak Amien Rais pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Banda Aceh betul-betul terkejut dan kecele. Sebab semula yang terbayang adalah Pak Amien itu orang keras, tanpa kompromi demi prinsip, terlalu rasional dan menakutkan. Ternyata tidak. Energi budaya yang tersembunyi pada beliau mampu membuatnya arif dalam menentukan tindakan dan langkah-langkahnya.

Dengan santai dan penuh percaya diri Pak Amien Rais merangkul banyak tokoh yang semula dicitrakan sebagai rival dan lawan beratnya. Lewat berbagai pidato berbahasa Inggris dan berbahasa Arab nyaris membuat Pak Amien Rais tak tertandingi. Para pengagumnya terpesona mendengar kefasihan berbicaranya. Dan pada akhir Muktamar ada kata penting yang patut dicatat.

“Seorang pemimpin itu harus mirip tukang kayu yang pintar. Semua kayu harus dapat ia manfaatkan,” demikian katanya ketika menggambarkan bagaimana semua kader dalam persyarikatan harus diberi tempat untuk berpartisipasi, meski ia termasuk kader kecil-kecilan.

Setelah tidak lagi menjadi Ketua PP Muhammadiyah, karena mendapat amanah untuk memimpin partai politik PAN yang kelahirannya merupakan ijtihad bersama dari Tanwir Semarang maka energi budaya Pak Amien rupanya terus bergolak. Justru ketika menjadi ketua partai ini perhatiannya pada denyut budaya Indonesia makin tinggi. Pada tingkat wacana Pak Amien berkali-kali memberi orasi budaya di forum-forum terhormat, termasuk di Taman Ismail Marzuki. Pada tingkat aksi, berbagai seni tradisional disantuni dan diajak untuk tampil kembali, termasuk Pangkur Jengglegnya Basiyo. Sedang seni yang masih kuat pengaruhnya seperti wayang tak lupa digauli.
Dengan demikian, hari-hari ini Pak Amien Rais tampak lebih sering hadir sebagai aktivis budaya ketimbang sebagai politisi. Gerakan budaya yang digulirkan betul-betul terasa dan dirasakan oleh rakyat bawah.

Mustofa W. Hasyim

Deklarasi Muhammadiyah Menyejukkan Bumi Indonesia

Deklarasi Muhammadiyah Menyejukkan Bumi Indonesia

Bencana demi bencana telah melanda negeri ini, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, wabah penyakit, ledakan jasad pengganggu tumbuhan serta semakin menurunnya ketersediaan dan kualitas sumber daya air. Kesemuanya itu merupakan bentuk-bentuk kerusakan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan dengan mengabaikan gatra lingkungan hidup.

Muhammadiyah sadar bahwa mengelola lingkungan secara benar dan tepat merupakan amanah yang harus dijalankan manusia sebagai khalifah di bumi, maka Muhammadiyah berikhtiar sesuai kemampuannya ikut secara aktif menata lingkungan untuk menyejukkan bumi berdasarkan azas keseimbangan lingkungan.
Oleh karena itu, pada hari ini, kamis tanggal 13 Dzulqoidah 1426 H/15 Desember 2005 dengan mengucap BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM dimulailah :
“GERAKAN MUHAMMADIYAH MENYEJUKKAN BUMI INDONESIA”

15 Desember 2005,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ketua Umum
Din Syamsuddin